GENDER
1. SEKS DAN GENDER
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan
orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini
juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran
gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di
kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa,
diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya
mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum
perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang
kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami
kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita
tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan
statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk
pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman
arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan
konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto,
1998: xxvi)
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum
feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak
pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum
laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin
muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan
perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki
dan perempuan akan istilah gender itu
sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender
tersebut.
Bertolak dari
fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu
sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.
Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting
karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan
menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang
tindih antara masalah-masalah perempuan
yang muncul karena perbedaan akibat seks
dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep
asing ke dalam konteks Indonesia.
A. Pengertian
Selama
lebih dari sepuluh tahun istilah gender
meramaikan berbagai diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu
pulalah istilah tersebut telah mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan
kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi
wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang
dipelopori ibu Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya.
Kekaburan
makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari
kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang
dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya
dipermasalahkan oleh perjuangan gender
itu.
Konsep gender pertama
kali harus dibedakan dari konsep seks
atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat
permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa
sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau
seorang perempuan.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka
dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis
kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan
memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim
sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami
kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua
tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu
sama lain.
Berbeda dengan seks
atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang
ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat
manusia, istilah gender yang diserap
dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam
Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah
mengubah gender menjadi jender---
merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah,
waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3
September 1995)
Oleh karena gender
merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka
waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat
ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian upaya untuk
mendefinisikan konsep gender tetap
dilakukan dan salah satu definisi gender
telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a
constitutive element of social relationships based on perceived differences
between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.”
(1986:1067)
Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya
jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin,
lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut,
keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus
anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah
kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan
daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan
menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan
jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga
dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum
perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan
bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan
yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum
laki-laki.
Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang
sering memahami konsep gender yang
merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”,
sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah
dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk
sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar